Senin, 02 Desember 2019

Value Investing, Belajar dari Om Teguh


Beli bukunya om Teguh Hidayat, Value Investing, Agustus 2018 lalu, saya menjadikannya sebagai salah satu buku yang saya baca lagi, baca lagi dan baca lagi.

Buku yang saya beli terbitan Elex Media, grupnya Gramedia dan merupakan cetakan yang keempat di bulan April 2018.

Pertama kali membacanya tentu begitu menebusnya dari Gramedia BTM, Bogor. Lalu beberapa kali membuka halaman-halamannya lagi ketika ingin mengulik beberapa istilah investasi yang tiba-tiba nongol di kepala hehehe.

Itupun masih berlanjut sehingga baca lagi dan membukanya lagi hingga saya bisa bilang: baru "benar-benar menuntaskannya" setelah membuat catatan pendek di halaman kosong paling belakang. Isinya, poin-poin penting lengkap dengan keterangan halamannya.

Catatan tadi lebih tepatnya untuk marking atau membuat indeks. Begini nih:
  1. Book Value dan PBV, di halaman  53
  2. ROE  63
  3. PBV  75
  4. EPS dan PER  89
  5. Penjelasan PBV lebih disukai dipakai daripada PER   91
  6. PER saham yang mahal/kemahalan, boleh/pokoknya beli   92
  7. contoh analisis BBRI   105
  8. Diservikasi saham   134
  9. Beat market in 5 minute   218
  10. Tugas/agenda tiap kuartal   219
  • tiap bulan 221
  • tiap hari 223
  • tiap tahun 224
Catatan atau highlight dari buku ini melengkapi artikel saya tentang saham sebelumnya.


Oya sebagai ringkasannya, ini saya bikin sendiri supaya makin nyanthol dan ham-paham di kepala :)

Paling kerasa manfaat dari buku dan highlight ini adalah ketika menyimak data emiten di PDF rekomendasi analis MNC Sekuritas, ngulik aplikasi MNC Trade, MNC StockRadars, data Yahoo Finance dan juga rekap harian LQ45 di Pusat Data Kontan.

1. Book Value dan PBV 
Book value atau nilai buku
Ekuitas atau aset bersih : jumlah saham beredar = hasilnya dinyatakan dalam angka rupiah, seperti Rp500, Rp 2000, Rp 3400 dll, walaupun di tabel sekuritas, koran dll simbol rupiah tidak ditulis.

PBV Price to Book Value
Rasio harga saham terhadap book value
Harga saham : BV
hasilnya dinyatakan sebagai satuan kali misalnya 1x, 2x, 3x atau pecahan 0,7x, 1,7x, 4,8x dll

Common sense-nya: 1x berarti "sepadan", sorry saya pakai penyederhanaan hehehe. Kalau 2x relatif lebih mahal. Makin besar angkanya, maka makin mahal. Itu semua relatif ya karena kudu melihat ROE di bawah ini.


2. ROE Return on Equity
disebut juga imbal hasil

Laba bersih : ekuitas = % prosentase
Makin besar makin bagus
ini ibarat bunga deposito, makanya disebut juga imbal hasil


3. PBV wajar

Jika:
  • ROE sekira 10% = PBV wajar 1x
  • ROE sekira 20% = PBV wajar 2x
  • ROE sekira 30% = PBV wajar 3x

4. EPS dan PER

EPS earning per share atau laba bersih per lembar saham
Laba bersih dalam 1 tahun : saham beredar

INGAT: ini dihitung dengan basis laba bersih yang disetahunkan ya. Maka kita pakai rumus mensetahunkan. Ini karena ketika kita mengambil data dari laporan keuangan IDX itu (bisa jadi) merupakan laporan kuartalan, maka jika datanya:

kuartal 1 maka laba bersih kalikan 4
kuartal 2, kalikan 2
kuartal 3, kalikan 1,333 atau 4/3

(ini kadang kalau bikin miss, "kok nggak pas ya?" biang keladinya ya karena kita lupa nggak 'mensetahunkan'.

PER price to earning ratio
rasio harga saham terhadap EPS
Harga saham : EPS

hasilnya disebutkan dengan satuan kali misalnya 6x, 7x, 10x, 14x, 17x, 42x dll

Makin kecil angkanya, makin murah

Harga saham murah atau mahal, beli atau tidak:
  • PER di atas 14, mahal, jangan beli
  • PER sekira 10, sangat bagus, boleh beli
  • PER 7 ke bawah, pokoknya beli :D

Bedanya?

Dari sisi komponen penghitungan
  • PBV, lebih menggambarkan fundamental emiten karena berdasar book value. PBV dipakai, di antaranya, kalau kita mengulik emiten second liner
  • PER, berdasar laba bersih. Lebih cocok untuk bluechip

Dari sisi "common sense" angkanya:
  • ROE, makin besar angka prosentasenya maka makin bagus (ibarat bunga deposito), misal 20%; 25% 
  • PBV, makin kecil angka kalinya, makin "sepadan/murah", misal 0,7; 1 dll
  • PER, makin kecil angka kalinya makin rekomended dibeli karena murah., misal 6, 7, 10. Sebaliknya jika makin besar, makin mahal atau bisa disebut kemahalan seperti 14x, 20x, 50x dll
Sedikit tambahan tapi bersumber dari artikel lain, masih sejalan dengan patokan di atas, Warren Buffett juga menggunakan 2 valuasi untuk saham yang akan dibeli:
- PBV, di bawah 1x
- PER, di bawah 10x
(Boleh juga tambahkan valuasi ini, ROE di atas 15%)

Note ya, highlight di atas sekadar untuk membantu meringkas. Saya tetap menyarankan baca buku Value Investing secara keseluruhan, dari pendahuluan sampai bab terakhir bahkan halaman paling ujung supaya komprehensif dan urut. Halaman per halaman, bab demi bab.

Salam investasi dari Bogor & Jakarta :)

Kamis, 05 September 2019

Konversi video youtube ke MP3

Buat nemenin jalan-jalan dan nyantai di rumah, iseng-iseng mengunduh lagu dari youtube #eh. Nah untuk konversi atau convert dari web musik ke mp3, biasanya saya pakai web service berikut ini:

  1. FLV
  2. Online Video Converter
  3. YTmp3
Semuanya sudah biasa saya pakai dan bisa dengan lancar. Soal adanya iklan, yah namanya gretongan atawa gratisan, maklumin lah.

Rabu, 30 Januari 2019

Sharing artikel bagus: Wartawan Itu Apa ?


Penulis: Kamsul Hasan, wartawan senior, Ketua PWI DKI Jakarta 2004-2014, Ketua Dewan Kehormatan PWI DKI 2014-2018, Ketua Ombudsman/ penasihat hukum harian Pos Kota, dosen di beberapa perguruan tinggi.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1447063765325880&id=100000668120413


Seorang polisi berpangkat AKBP yang hadir pada diskusi tentang kekerasan terhadap wartawan di Kemenkopolhukam, Rabu kemarin bertanya, apakah setiap tindak pidana terhadap wartawan dilindungi hukum dan bisa dibilang sebagai kekerasan ?

Saya yang menjadi narasumber tunggal dengan peserta rata rata berpangkat kolonel dari kementerian yang berada dalam koordinasi Polhukam, harus menjelaskan tentang apa itu wartawan dalam sistem hukum pers di Indonesia. 

Kata wartawan dalam UU RI Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers) terdapat pada Pasal 1 angka 4, Pasal 4 ayat (4), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8. Hanya Pasal 8 yang berbicara soal perlindungan terhadap wartawan. 

Sebelum berbicara soal perlindungan terhadap wartawan, kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud sebagai pers, karena tidak semua media di Indonesia dapat disebut sebagai perusahaan pers. 

Definisi pers sendiri terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU Pers yang intinya pers adalah LEMBAGA SOSIAL yang melakukan kegiatan jurnalistik. Jadi jelas pers Indonesia tidak bisa dikelola perseorangan. 

Sedangkan soal perusahaan pers dan atau pers nasional diatur pada Pasal 1 angka 2. Mengenai hak dan kewajiban pers nasional diatur Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 serta Pasal 13 UU Pers. 

Pasal 9 ayat (1) UU Pers memberikan kesempatan kepada siapa saja baik itu warga negara maupun negara untuk membuat perusahaan pers. Namun seperti diatur Pasal 9 ayat (2) perusahaan pers nasional harus berbadan hukum Indonesia.

Dewan Pers melalui SE 01 tahun 2014 tertanggal 16 Januari 2014 menafsirkan yang dimaksud badan hukum perusahaan pers harus PT, yayasan atau koperasi.  Surat edaran Dewan Pers itu berlaku efektif per 1 Juli 2014.

Dengan demikian yang dimaksud sebagai wartawan adalah mereka yang melakukan kegiatan jurnalistik untuk perusahaan pers nasional sebagai mana dimaksud Pasal 9 ayat (2) UU Pers dan SE Dewan Pers No 01 tahun 2014.

Lalu, apakah orang yang berstatus wartawan selalu mendapatkan perlindungan hukum dalam berbagai sepak terjangnya. Kembali kepada perlindungan terhadap wartawan yang diatur Pasal 8, perlindungan terhadap profesi wartawan hanya diberikan pada saat dia menjalankan kegiatan jurnalistik.

Apabila benar ada orang yang mengaku wartawan melakukan praktik pemerasan, maka dia tidak sedang melakukan kegiatan jurnalistik tetapi melakukan tindak pidana kriminal. Mereka tidak mendapatkan perlindungan sebagai mana diamanatkan Pasal 8 UU Pers. 

Kekerasan Terhadap Wartawan

Kekerasan terhadap wartawan pada umumnya dapat dibagi menjadi dua. Kekerasan dalam bentuk verbal dan kekerasan dalam bentuk fisik. Kedunya berbeda delik dan berbeda legal standing.

Kekerasan dalam bentuk verbal, seperti menghalangi, mengusir, memaki dan lainnya dalam bentuk perkataan adalah delik aduan yang tidak mungkin diproses hukum tanpa ada pengaduan.

Legal standing dari kekerasan verbal itu adalah perusahaan pers nasional apabila ingin menggunakan ancaman pasal 18 ayat (1) yang merujuk pada Pasal 4 ayat (3) UU Pers. Ancaman delik ini maksimal 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

Apabila perusahaan pers tidak ingin melaporkan delik verbal ini, wartawanya bisa menggunakan pasal 335 KUHP. Hal ini dikarenakan wartawan tidak memiliki opsi hukum pada UU Pers.

Selain kekerasan verbal wartawan juga kerap mendapat kekerasan fisik yang bersifat delik umum atau delik biasa. Legal standing dari kekerasan fisik adalah setiap orang dan ancamannya ada pada KUHP.

Tinggal melihat berapa orang yang melakukan kekerasan fisik itu. Apabila hanya seorang diri maka dapat digunakan Pasal 351 KUHP. Kekerasan fisik yang dilakukan lebih dari satu orang bisa menggunakan Pasal 170 KUHP.

Mencegah Kekerasan

Untuk mencegah kekerasan, semua pihak harus kembali pada peraturan yang berlaku. Wartawan harus bekerja profesional mematuhi hukum dan etika jurnalistik . 

Pemerintah harus terus melakukan sosialisasi atau literasi media agar masyarakat luas memahami hak dan kewajiban baik terkait UU Pers maupun UU Penyiaran.

Apabila kekerasan tidak terhindarkan, jangan sampai kekerasan verbal menjadi kekerasan fisik. Pemerintah melalui aparat kepolisian dan keamanan ysng ada di lokasi segera mengamankan.

Proses hukum secara profesional, termasuk apabila ada dugaan laporan palsu, bila memang cukup bukti.

# Rapat koordinasi Polhukam yang menjadi reuni IISIP Jakarta, karena sejumlah kolonel yang hadir ternyata alumni kampus tercinta

+++++

Tambahan:

Teman teman, bila ingin mengutip status saya ini silakan. Ini ada tambahan penjelasan.

Selamat pagi sahabat semua.

Pertanyaan Pak Polisi ini ada kaitannya dengan MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri yang baru diperpanjang pada 9 Februari 2017 saat HPN di Ambon, Maluku.

Sebagaimana diatur dalam MoU tersebut, apabila terjadi sengketa pemberitaan pers dan polisi mendapatkan laporan dari masyarakat, langkah awalnya adalah meminta keterangan ahli dari atau yang ditunjuk Dewan Pers.

Ahli yang mewakili Dewan Pers harus meneliti apakah media yang dilaporkan berstatus perusahaan pers atau non perusahaan pers. 

Alat ukur yang digunakan adalah Pasal 12 UU Pers dan SE No 1 tahun 2014. Apakah media itu mencantumkan badan hukum, alamat redaksi dan penanggungjawab. 

Apabila memenuhi syarat Pasal 12 UU Pers, maka sesuai MoU, diselesaikan menggunakan cara-cara atau hukum pers. Namun apabila tidak memenuhi syarat, polisi sebagai penyidik menggunakan pidana di luar UU Pers.

Sebagai contoh seorang anggota DPRA, diberikan media online, keluar hotel bersama wanita. Merasa dicemarkan anggota dewan itu lapor polisi.

Waktu itu sudah ada MoU Dewan Pers dengan Kapolri tentang keterangan ahli. Maka penyidik meminta ahli dari Dewan Pers. Ahli yang mewakili Dewan Pers tidak menemukan badan hukum perusahaan pers.

Maka sesuai keterangan ahli, perkaranya disidik dengan UU ITE. Kenapa UU ITE, karena media itu tidak memiliki badan hukum dan tidak sesuai dengan UU Pers.

Ancaman Pasal 27 ayat (3) UU ITE saat itu masih 6 tahun dan atau denda Rp 1 miliar. Polisi langsung melakukan penahanan terhadap dua orang yang dijadikan tersangka.

Kenapa dua orang yang ditahan ? UU ITE dan KUHP menggunakan sistem air terjun, siapa saja yang terlibat dapat diturutsertakan dalam tindak pidana.

Berbeda dengan UU ITE dan atau KUHP, UU Pers menganut sistem pertanggungjawaban fiktif. Jadi, apabila ahli menyatakan media itu pers tanggungjawabnya hanya pada satu orang yaitu penanggung jawab.

Wartawan penulis berita yang disengketakan tidak bertanggung jawab. Meskipun demikian wartawan yang menulis bisa saja dipanggil sebagai saksi oleh polisi dan harus datang. 

Setelah sampai kantor polisi, wartawan yang dimintai keterangan dapat menggunakan Hak Tolak, sebagai mana diatur Pasal 4 ayat (4) UU Pers terkait nara sumber tertutup.

Nara sumber tertutup juga harus dilindungi dan tidak boleh dibuka sesuai Pasal 7 KEJ.

Selamat beraktifitas

Tag: wartawan, media, jurnalis, jurnalistik, uu, pers, narasumber, nara, sumber, ite, dewan pers, pwi, kekerasan, hukum, pidana, perdata, delik, aduan, perlindungan, 

Value Investing, Belajar dari Om Teguh

Beli bukunya om Teguh Hidayat, Value Investing, Agustus 2018 lalu, saya menjadikannya sebagai salah satu buku yang saya baca lagi, baca l...